Translate

Saturday, March 12, 2016

[ 2016 | Review #07 ] : "THE FIRE SERMON"

Judul Asli : THE FIRE SERMON
[ book 1 of THE FIRE SERMON Trilogy ]
by Francesca Haig
Copyright © De Tores Ltd 2015
Penerbit Noura Books
Alih Bahasa : Lulu Fitri Rahman
Editor : Lisa Indriana Yusuf
Layout : CDDC
Desain sampul : Muhammad Usman
Cetakan I : Januari 2016 ; 550 hlm ; ISBN 978-602-385-000-6
Harga Normal : Rp. 84.000,-
Rate : 2.5 of 5
“Tak ada dongeng tertulis atau gambar mengenai ledakan itu. Sejarah tertulis di abu, juga di tulang. Sebelum ledakan, konon sempat ada khotbah mengenai api, mengenai akhir duna. Api itu sendiri yang menyampaikan khotbah terakhir; dan setelahnya tak ada lagi.”
Konon menurut legenda dan nyanyian para pujangga, sebuah ledakan besar meluluh-lantakan dunia, termasuk sang Waktu. Dalam sekejab, masa terbelah permanen menjadi Sebelum dan Setelah. Ratusan tahun saat Setelah, tiada lagi penyintas yang bertahan atau saksi atas peristiwa itu. Terlupakan, kebenaran berubah-ubah sesuai kehendak para pendongeng, menyisakan para peramal yang masih memiliki kemampuan menerawang masa lalu dan kilasan masa depan. Namun beberapa hal tetap tercatat dan senantiasa menjadi pengingat. Tentang bangsa lain yang mengirim api dari angkasa, serta radiasi dan Musim Dingin Panjang yang merupakan awal evolusi manusia beserta makhluk-makhluk lain.


Cassandra dan Zach adalah keturunan generasi baru hampir 400 tahun awal masa Setelah dimulai. Sebagaimana keturunan yang terlahir dari masa-masa gelap nan suram, mereka adalah sepasang kembar yang kelak akan terpisah secara alami akibat adanya seleksi alam. Satu akan berubah menjadi Omega – mereka yang terlahir dengan ‘cacat’ dan ‘kelainan’ sehingga harus disingkirkan dari kehidupan normal, dan yang selamat merupakan Alpha – keturunan terpilih yang akan meneruskan masa depan kaumnya. Umumnya perbadaan itu langsung terlihat saat lahair atau setidaknya pada masa perkembangan kanak-kanak. Namun pada kasus Cass dan Zach, hal ini tidak terjadi selama bertahun-tahun, hingga mereka beranjak remaja.

Cass mengalami ‘mimpi-mimpi’ aneh yang menjadi bagian pribadi dalam hidupnya. Dalam usia sangat muda, ia tahu untuk tidak pernah mengungkap perihal itu pada siapa pun. Seiring waktu, melihat perbedaan nyata antara kaum Alpha dan Omega, ia menyimpan rapat-rapat ‘kemampuannya’ termasuk dari keluarganya sendiri. Walau kasih sayang dan hubungan erat dengan Zach tidak mampu ia hindari, entah mengapa rahasia yang satu ini enggan ia ungkapkan. Sikap Zach yang berubah-ubah, antara kasih sayang sebegai saudara kembar yang acapkali berganti dengan kemurkaan dan amarah terpendam, meyakini bahwa Cass sengaja menyembunyikan ‘sesuatu’ yang menyebabkan mereka berdua dianggap ‘aneh’ karena tidak diketahui siapa Alpha / Omega.

Namun pada akhirnya, justru rasa sayang Cass yang menyebabkan dirinya terjebak dalam permainan licik Zach, dan dua minggu usia kematian ayah mereka, Cass mengakui ‘cacatnya’ dan diberi cap tanda Omega. Pada usia 13 tahun, ia terusir dari keluarga dan kehidupan yang selama ini ia jalani. Terlunta-lunta, ia hanya memiliki keyakinan untuk bertahan hidup. Berbekal kunci warisan bibi Alice – saudara kembar ayahnya, sang Omega, gadis cilik ini berusaha menemukan cara lain untuk menempuh hari-hari baru. Sayangnya, kemampuannya sebagai ‘peramal’ juga dibenci dan dijauhi oleh kaum Omega. Walau ia berjuang di kawasan khusus kaum Omega, ia tidak pernah diterima di kalangan ini dengan tangan terbuka.

Bertahun-tahun kemudian di saat Cass sudah bisa menerima nasib sebagai Omega dan terbuang, hidup dalam kondisi yang serba kekurangan, muncul masalah baru yang datang dari Zach. Saudara kembarnya memerintahkan dirinya diculik dan dikurung selama bertahun-tahun. Cass bukan hanya ditahan tetapi juga menjalani siksaan berupa ritual interogasi oleh sosok yang disebut sang Konfesor – wanita mengerikan yang mampu menelusup masuk ke dalam benak Cass, mencari tahu tentang ‘mimpi-mimpinya’ ... Kebebasan secara fisik maupun pikiran, secara perlahan-lahan mulai mempengaruhi Cass, hingga ketakutan untuk berubah total menjadi gila, membuatnya nekad menyusun rencana untuk keluar dari tahanan.

Dari judul kisah ini, awalnya kusangka tentang sosok yang memiliki kekuatan ‘memanggil-api’ dan dugaan ini meleset sangat jauh. Kemudian tema tentang saudara kembar yang memiliki perbedaan hingga harus dipisahkan karena saling bertolak-belakang, menyeret imajinasiku kepada perpaduan atau bentrokan kuat antara kekuatan hitam dan putih, dan sekali lagi dugaan ini sedikit meleset pula. Dengan alur kisah yang sangat lambat, perlahan-lahan diriku mulai memasuki duduk permasalahan yang menjadi tema kisah ini. Adanya kelahiran anak kembar, pria dan wanita, yang akan ditakdirkan terpisah dalam kehidupan masa depan mereka.

Salah satu menjadi Alpha – sosok dominan, kuat, cerdas, sempurna, dan yang lain menjadi Omega – sosok yang cacat, serba kekurangan secara fisik maupun mental, dan harus disingkirkan dari kehidupan ‘normal’ kaum Alpha. Walau terpisah, ikatan antara kedua bersaudara kembar ini tidak bisa diputuskan begitu saja. Jika salah satu dari mereka mengalami sakit maka akan berpengaruh pada yang lain, demikian pula dengan kematian. Maka terbentuklah komunitas Alpha yang hidup terpisah namun tetap berhubungan dengan komunitas Omega. Hingga situasi berubah melalui pasangan kembar Cass dan Zach, yang memilih jalur kehidupan yang sama sekali berbeda dengan pendahulu mereka.

Kisah yang lumayan datar, mulai sedikit mengundang rasa penasaran saat Cass berhasil melarikan diri dan membawa serta pemuda yang diselamatkan dari dalam tabung percobaan tempat dimana ia ditahan selama bertahun-tahun. Pemuda yang dipanggil Kip, mengalami amnesia hingga sama sekali tidak mengingat masa lalu atau mengapa ia berada dalam tabung. Dan ... kisah yang seharusnya bergulir dalam petualangan nan seru, kembali pada alur yang lambat dan monoton #sigh. Secara ide, kisah ini bisa dikatakan menarik, walau tema yang diusung bukanlah sesuatu yang ‘baru’ atau ‘otentik’.

Deskripsi awal bahwa ini masuk dalam jenis ‘post-apocalyptic’ terasa kurang pas karena justru detil yang mendasari latar belakang terjadinya tragedi / bencana besar yang memusnahkan populasi, hanya disinggung secara singkat, sama sekali tidak terasa nuansa perubahan yang merujuk pada Sebelum dan Setelah. Sedangkan jika dirujuk pada sisi fantasi, ini pun muncul bagai gadis cilik yang mengintip malu-malu dari persembunyian, singkatnya : kurang terasa unsur dominan fantasi. Salah satu komentar pembaca yang menyoroti bahwa penulis menyoroti tema ‘ableism’ (yang menyinggung prasangka dan diskriminasi seputar kelainan fisik / cacat tubuh), sekiranya lebih tepat untuk menggambarkan tema utama kisah ini.

Dan satu hal yang benar-benar diuji, kesabaranku untuk menuntaskan kisah sepanjang 500 halaman, hingga pada beberapa bagian terpaksa kugunakan sistem ‘skip’ karena pengulangan-pengulangan yang biasanya terjadi pada bacaan jenis middle-grade (baca : bacaan anak-anak) dengan tujuan menekankan ‘sesuatu’ yang seharusnya tidak dibutuhkan (kembali). Dialog yang terjadi pun lumayan monoton, mirip membaca kisah klasik yang penuh dengan deskripsi berkepanjangan. Bahkan dua kali kesempatan, diriku ‘tertidur’ (serius ini terjadi) ditengah usaha membaca beberapa paragraf zzzZZZzz ....

Apakah hal ini disebabkan latar belakang penulis yang lebih condong pada penulisan fiksi historis yang memang menekankan pada detil dan deskripsi yang (biasanya) panjang ? Tetapi  disisi lain banyak penulis genre hisfic yang mampu menyajikan ‘petualangan’ nan seru bagi pembacanya walau harus melalui rangkaian penjelasan yang panjang \(-__-)/ Entahlah, yang jelas karena ini karya pertama penulis yang pernah kubaca, mungkin harus kucoba sekali lagi pada karyanya yang lain, atau menelisik kelanjutan kisah ini, semoga saja tidak terulang pengalaman yang bisa diibaratkan menyantap makanan porsi besar nan hambar ... \(-___-)/ ...

Tentang Penulis :
Francesca Haig tumbuh dewasa di Tasmania. Dia mendapat gelar Ph.D dari University of Melbourne. Selain berprofesi sebagai penulis, ia juga pernah menjabat sebagai dosen senior di Universitas of Chester. Sebagai penulis puisi, karyanya telah diterbitkan di jurnal dan antologi sastra di Australia maupun Inggris. Karyanya di genre fantasi, The Fire Sermon (buku pertama dari trilogi post-apocalyptic), telah diterjemahkan lebih dari 20 bahasa. Kini ia tinggal di London, Inggris bersama anak dan suaminya.

[ more about this author & related works, just check at here : Francesca Haig | on Goodreads | at Twitter ]

Best Regards,

@HobbyBuku

No comments:

Post a Comment

Silahkan tinggalkan pesan dan komentar (no spam please), harap sabar jika tidak langsung muncul karena kolom ini menggunakan moderasi admin.
Thanks for visiting, your comment really appreciated \(^0^)/

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...