Judul Asli : THE FIRE
SERMON
[ book 1 of THE FIRE SERMON Trilogy ]
by Francesca Haig
Copyright © De Tores Ltd 2015
Penerbit Noura Books
Alih Bahasa : Lulu Fitri Rahman
Editor : Lisa Indriana Yusuf
Layout : CDDC
Desain sampul : Muhammad Usman
Cetakan I : Januari 2016 ; 550 hlm ; ISBN 978-602-385-000-6
Harga Normal : Rp. 84.000,-
Rate : 2.5 of 5
“Tak ada dongeng tertulis atau gambar mengenai ledakan itu. Sejarah tertulis di abu, juga di tulang. Sebelum ledakan, konon sempat ada khotbah mengenai api, mengenai akhir duna. Api itu sendiri yang menyampaikan khotbah terakhir; dan setelahnya tak ada lagi.”
Konon menurut legenda dan nyanyian para pujangga, sebuah ledakan
besar meluluh-lantakan dunia, termasuk sang Waktu. Dalam sekejab, masa terbelah
permanen menjadi Sebelum dan Setelah. Ratusan tahun saat Setelah, tiada lagi
penyintas yang bertahan atau saksi atas peristiwa itu. Terlupakan, kebenaran
berubah-ubah sesuai kehendak para pendongeng, menyisakan para peramal yang
masih memiliki kemampuan menerawang masa lalu dan kilasan masa depan. Namun
beberapa hal tetap tercatat dan senantiasa menjadi pengingat. Tentang bangsa
lain yang mengirim api dari angkasa, serta radiasi dan Musim Dingin Panjang
yang merupakan awal evolusi manusia beserta makhluk-makhluk lain.
Cassandra dan Zach adalah keturunan generasi baru hampir 400 tahun
awal masa Setelah dimulai. Sebagaimana keturunan yang terlahir dari masa-masa
gelap nan suram, mereka adalah sepasang kembar yang kelak akan terpisah secara
alami akibat adanya seleksi alam. Satu akan berubah menjadi Omega – mereka yang
terlahir dengan ‘cacat’ dan ‘kelainan’ sehingga harus disingkirkan dari
kehidupan normal, dan yang selamat merupakan Alpha – keturunan terpilih yang
akan meneruskan masa depan kaumnya. Umumnya perbadaan itu langsung terlihat
saat lahair atau setidaknya pada masa perkembangan kanak-kanak. Namun pada
kasus Cass dan Zach, hal ini tidak terjadi selama bertahun-tahun, hingga mereka
beranjak remaja.
Cass mengalami ‘mimpi-mimpi’ aneh yang menjadi bagian pribadi
dalam hidupnya. Dalam usia sangat muda, ia tahu untuk tidak pernah mengungkap
perihal itu pada siapa pun. Seiring waktu, melihat perbedaan nyata antara kaum
Alpha dan Omega, ia menyimpan rapat-rapat ‘kemampuannya’ termasuk dari
keluarganya sendiri. Walau kasih sayang dan hubungan erat dengan Zach tidak
mampu ia hindari, entah mengapa rahasia yang satu ini enggan ia ungkapkan.
Sikap Zach yang berubah-ubah, antara kasih sayang sebegai saudara kembar yang
acapkali berganti dengan kemurkaan dan amarah terpendam, meyakini bahwa Cass
sengaja menyembunyikan ‘sesuatu’ yang menyebabkan mereka berdua dianggap ‘aneh’
karena tidak diketahui siapa Alpha / Omega.
Namun pada akhirnya, justru rasa sayang Cass yang menyebabkan
dirinya terjebak dalam permainan licik Zach, dan dua minggu usia kematian ayah
mereka, Cass mengakui ‘cacatnya’ dan diberi cap tanda Omega. Pada usia 13
tahun, ia terusir dari keluarga dan kehidupan yang selama ini ia jalani.
Terlunta-lunta, ia hanya memiliki keyakinan untuk bertahan hidup. Berbekal
kunci warisan bibi Alice – saudara kembar ayahnya, sang Omega, gadis cilik ini
berusaha menemukan cara lain untuk menempuh hari-hari baru. Sayangnya,
kemampuannya sebagai ‘peramal’ juga dibenci dan dijauhi oleh kaum Omega. Walau
ia berjuang di kawasan khusus kaum Omega, ia tidak pernah diterima di kalangan
ini dengan tangan terbuka.
Bertahun-tahun kemudian di saat Cass sudah bisa menerima nasib
sebagai Omega dan terbuang, hidup dalam kondisi yang serba kekurangan, muncul
masalah baru yang datang dari Zach. Saudara kembarnya memerintahkan dirinya
diculik dan dikurung selama bertahun-tahun. Cass bukan hanya ditahan tetapi
juga menjalani siksaan berupa ritual interogasi oleh sosok yang disebut sang
Konfesor – wanita mengerikan yang mampu menelusup masuk ke dalam benak Cass,
mencari tahu tentang ‘mimpi-mimpinya’ ... Kebebasan secara fisik maupun
pikiran, secara perlahan-lahan mulai mempengaruhi Cass, hingga ketakutan untuk
berubah total menjadi gila, membuatnya nekad menyusun rencana untuk keluar dari
tahanan.
Dari judul kisah ini, awalnya kusangka tentang sosok yang memiliki
kekuatan ‘memanggil-api’ dan dugaan ini meleset sangat jauh. Kemudian
tema tentang saudara kembar yang memiliki perbedaan hingga harus dipisahkan
karena saling bertolak-belakang, menyeret imajinasiku kepada perpaduan atau
bentrokan kuat antara kekuatan hitam dan putih, dan sekali lagi dugaan ini
sedikit meleset pula. Dengan alur kisah yang sangat lambat,
perlahan-lahan diriku mulai memasuki duduk permasalahan yang menjadi tema kisah
ini. Adanya kelahiran anak kembar, pria dan wanita, yang akan ditakdirkan
terpisah dalam kehidupan masa depan mereka.
Salah satu menjadi Alpha – sosok dominan, kuat, cerdas,
sempurna, dan yang lain menjadi Omega – sosok yang cacat, serba
kekurangan secara fisik maupun mental, dan harus disingkirkan dari kehidupan
‘normal’ kaum Alpha. Walau terpisah, ikatan antara kedua bersaudara kembar ini
tidak bisa diputuskan begitu saja. Jika salah satu dari mereka mengalami sakit
maka akan berpengaruh pada yang lain, demikian pula dengan kematian. Maka
terbentuklah komunitas Alpha yang hidup terpisah namun tetap berhubungan dengan
komunitas Omega. Hingga situasi berubah melalui pasangan kembar Cass dan Zach,
yang memilih jalur kehidupan yang sama sekali berbeda dengan pendahulu mereka.
Kisah yang lumayan datar, mulai sedikit mengundang rasa penasaran
saat Cass berhasil melarikan diri dan membawa serta pemuda yang diselamatkan
dari dalam tabung percobaan tempat dimana ia ditahan selama bertahun-tahun.
Pemuda yang dipanggil Kip, mengalami amnesia hingga sama sekali tidak mengingat
masa lalu atau mengapa ia berada dalam tabung. Dan ... kisah yang seharusnya
bergulir dalam petualangan nan seru, kembali pada alur yang lambat dan monoton #sigh. Secara ide, kisah ini bisa
dikatakan menarik, walau tema yang diusung bukanlah sesuatu yang ‘baru’ atau
‘otentik’.
Deskripsi awal bahwa ini masuk dalam jenis ‘post-apocalyptic’ terasa
kurang pas karena justru detil yang mendasari latar belakang terjadinya tragedi
/ bencana besar yang memusnahkan populasi, hanya disinggung secara singkat,
sama sekali tidak terasa nuansa perubahan yang merujuk pada Sebelum dan
Setelah. Sedangkan jika dirujuk pada sisi fantasi, ini pun muncul bagai gadis
cilik yang mengintip malu-malu dari persembunyian, singkatnya : kurang terasa
unsur dominan fantasi. Salah satu komentar pembaca yang menyoroti bahwa penulis
menyoroti tema ‘ableism’ (yang menyinggung prasangka dan diskriminasi seputar
kelainan fisik / cacat tubuh), sekiranya lebih tepat untuk menggambarkan tema
utama kisah ini.
Dan satu hal yang benar-benar diuji, kesabaranku untuk menuntaskan
kisah sepanjang 500 halaman, hingga pada beberapa bagian terpaksa kugunakan
sistem ‘skip’ karena pengulangan-pengulangan yang biasanya terjadi pada bacaan
jenis middle-grade (baca : bacaan
anak-anak) dengan tujuan menekankan ‘sesuatu’ yang seharusnya tidak dibutuhkan
(kembali). Dialog yang terjadi pun lumayan monoton, mirip membaca kisah klasik
yang penuh dengan deskripsi berkepanjangan. Bahkan dua kali kesempatan, diriku ‘tertidur’ (serius ini terjadi) ditengah
usaha membaca beberapa paragraf zzzZZZzz ....
Apakah hal ini disebabkan latar belakang penulis yang lebih
condong pada penulisan fiksi historis yang memang menekankan pada detil dan
deskripsi yang (biasanya) panjang ? Tetapi
disisi lain banyak penulis genre hisfic yang mampu menyajikan
‘petualangan’ nan seru bagi pembacanya walau harus melalui rangkaian penjelasan
yang panjang \(-__-)/ Entahlah, yang jelas karena ini karya pertama penulis
yang pernah kubaca, mungkin harus kucoba sekali lagi pada karyanya yang lain,
atau menelisik kelanjutan kisah ini, semoga saja tidak terulang pengalaman yang
bisa diibaratkan menyantap makanan porsi besar nan hambar ... \(-___-)/ ...
Tentang Penulis :
Francesca Haig tumbuh dewasa di Tasmania. Dia mendapat gelar Ph.D
dari University of Melbourne. Selain berprofesi sebagai penulis, ia juga pernah
menjabat sebagai dosen senior di Universitas of Chester. Sebagai penulis puisi,
karyanya telah diterbitkan di jurnal dan antologi sastra di Australia maupun
Inggris. Karyanya di genre fantasi, The Fire Sermon (buku pertama dari trilogi
post-apocalyptic), telah diterjemahkan lebih dari 20 bahasa. Kini ia tinggal di
London, Inggris bersama anak dan suaminya.
[ more about this author
& related works, just check at here : Francesca Haig | on Goodreads | at Twitter ]
Best Regards,
@HobbyBuku
No comments:
Post a Comment
Silahkan tinggalkan pesan dan komentar (no spam please), harap sabar jika tidak langsung muncul karena kolom ini menggunakan moderasi admin.
Thanks for visiting, your comment really appreciated \(^0^)/