Translate

Tuesday, March 22, 2016

[ 2016 | Review #21 ] : "THE QUEEN OF THE TEARLING"

Judul Asli : THE QUEEN OF THE TEARLING
[ book 1 of THE QUEEN OF THE TEARLING Series ]
Copyright © 2014 by Erika Johansen
Penerbit Mizan Fantasi
Alih Bahasa : Angelic Zaizai
Editor : Dyah Agustine
Proofreader : Emi Kusmiati
Cover layout : Dodi Rosadi
Desain sampul : Windu Tampan
Cetakan I : Januari 2016 ; 436 hlm ; ISBN 978-979-433-919-0
Harga Normal : Rp. 99.000,-
Rate : 4.5 of 5

Berabad-abad lampau, saat dunia dilanda kekacauan akibat perang, wabah penyakit dan kematian, mereka yang selamat pergi meninggalkan tanah tempat tinggal yang porak-poranda dan mencari tempat baru yang akan memberikan peluang untuk kehidupan serta masa depan yang lebih baik. Sejarah mencatat keberhasilan yang dicapai oleh kelompok-kelompok tertentu saat Penyeberangan menuju Dunia Baru. Dari sekian banyak yang memiliki impian besar, muncul sosok William Tear, seorang utopis yang memimpikan kehidupan dimana tersedia lahan makmur bagi semua oarang. Dunia dimana tiada permusuhan, kebencian dan kematian menyedihkan. Harapan besar melambung saat akhirnya ia berhasil menemukan lahan bagi kelompoknya. Pemukiman dan lahan untuk digarap segera menjadi fokus kegiatan sebagaimana kelompok-kelompok lain yang mendarat di sisi lain dari daratan yang luas, liar dan tak bertuan. William Tear mendirikan kerajaan yang disebut Tearling, yang menjanjikan harapan dan impian besar.


Namun kenyataan memutar-balikkan impian tersebut. Lahan yang dipilih tidak memiliki sumber daya yang menguntungkan. Dan mereka tak memiliki cukup perbekalan seperti bijih besi atau timah. Yang bisa didapat dan dimiliki oleh bangsa Tearling adalah hasil bumi dari pertanian yang tak seberapa, daging yang mereka ternakkan serta pohon ek yang berkualitas dari lahan mereka. Dan itu semua tak mampu memberikan kelayakan bagi kehidupan bangsa Tearling, terutama dari segi perekononian, perdagangan dan industri, sesuatu yang dimiliki oleh negara-negara tetangga mereka, dan menjamin kemakmuran dan kekayaan penduduknya. Seiring dengan waktu, bangsa Tearling terpuruk dalam kehidupan yang penuh kerja keras, kemiskinan, buta huruf dan kesehatan yang memburuk. Para ahli kesehatan dan dokter hingga ahli batu dan pandai besi, semuanya berasal dari negara tetangga, yang meminta imbalan besar bagi jasa mereka. Impian besar William Tearling pun terlupakan, tiada warisan yang cukup kuat untuk mempertahankan keyakinan bangsanya. Saat penaklukan terjadi, perbudakkan pun menimpa bangsa ini.

Sejarah pun berubah. Kebenaran terlupakan, hanya terkadang muncul melalui kisah legenda dan mitos. Masyarakat nyaris tidak mengenal keberadaan Kerajaan Mortmesne yang kini menjadi penguasa tunggal dan memerintah negara-negara lain dengan tangan besi dan ancaman teror membayangi benak setiap manusia dan makhluk hidup yang ada. Dahulu kala, saat Penyeberangan berhasil, sebagaimana kerajaan Tearling mulai dibentuk dan berusaha untuk bangkit, kelompok lain yang lebih berhasil dan beruntung dibandingkan William Tearling, akhirnya menjadi pusat kegiatan dan jalur sirkulasi yang ramai. Kawasan yang dikenal sebagai Eropa Baru, dipimpin oleh mereka yang menjadi kaya raya dan semakin kaya, sehingga mampu menjalankan roda pemerintahan dengan lancar, mengingat kehidupan rakyatnya makmur sentosa. Dan suatu hari tanpa seorang pun tahu, muncul seorang penyihir wanita tak dikenal. Ia membunuh semua pemimpin yang ada, menghabisi setiap anggota keluarga dan kerabat mereka hinga tak seorang tersisa untuk membalas dendam.

Ia memimpin pasukan yang bengis dan keji, membunuh, menyiksa siapa saja yang menjadi penghalang. Hampir setengah abad semenjak ia memulai penaklukan dan pembantaian terus berlanjut. Hingga akhirnya tiada satu pun yang berani menentangnya. Rakyat tunduk penuh ketakutan dan teror kematian mengerikan akan muncul sewaktu-waktu menjemput. Eropa Baru hilang dalam sejarah, digantikan Kerajaan Mortmesne yang dipimpin Ratu Merah. 100 tahun berlalu dan kekuasaan Ratu Merah semakin merajalela, wujud fisik sang Ratu yang tak berubah bahkan setelah ratusan tahun menjadi salah satu sumber kengerian tersendiri bagi siapa pun. Ketika Kerajaan Tearling menjadi sasaran berikutnya, tanpa diduga terjadi perlawanan kuat dari sang penguasa, Ratu Arla yang sakit-sakitan namun tak bersedia tunduk dalam pemerintahan diktator Ratu Merah. Seandainya saja Ratu Arla diberi kesempatan lebih lama, mungkin saja Tearling tidak segera jatuh. Namun akibat penyakit pneumania yang merongrong, sang Ratu wafat, meninggalkan ahli warisnya, putri mahkota Elyssa dan adiknya Thomas.

Ratu Elyssa Raleigh, penguasa Tearling ke-6 hanya menikmati kekuasan dalam waktu sangat singkat, karena ia tak memiliki keberanian dan kekuatan ibunya. Ia menyerah dan membuat perjanjian dengan Ratu Merah. Perjanjian Mort yang menjadi sumber kebencian rakyat pada sang ratu beserta kaum pejabat, karena memilih mengorbankan rakyatnya sebagai budak-budak yang entah digunakan untuk apa oleh pihak Kerajaan Mortmesne. Satu-satunya hal terbaik yang pernah dilakukan oleh sang ratu, adalah mengirim putrinya yang masih bayi, untuk tinggal dan dibesarkan oleh pasangan kepercayaannya, jauh dari ibukota, mereka hidup di tempat yang tersembunyi dan terpencil. Kelsea Raleigh menjalani kehidupan yang sama sekali berbeda bersama kedua orang tua asuhnya, Carlin dan Bartholomew Glynn. Hingga ia menginjak usia ke-17, saat muncul pasukan Pengawal Kerajaan Tearling, yang hendak membawanya kembali ke ibukota, tempat dimana ia harus mengambil alih tampuk pemerintahan sepeninggalan ibunya. Maka perjalanan panjang penuh marabahaya pun dimulai ...

Sudah cukup lama diriku tidak menemukan sajian kisah fantasi yang luar biasa. Jujur, awal mendengar tentang kisah ini, tidak ada ketertarikan untuk sekedar mencari atau mencoba membacanya. Berdasarkan pengalaman, kisah-kisah yang termasuk ‘hype’ dan ‘trendy’ tidak terlalu cocok dengan seleraku, dan harga versi Inggris edisi paperback juga lumayan mahal, bahkan setelah berbulan-bulan lewat dari periode launching. Tatkala edisi terjemahan ini muncul, sebenarnya setengah ‘gambling’ alias tidak ada ekspektasi khusus mengawali niat untuk membacanya. Di luar dugaan, bahkan sejak halaman pertama, diriku tenggelam dalam dunia Tearling bersama Kelsea hingga tanpa terasa 400 halaman tuntas dalam sekejab. Tak heran jika Emma Watson yang diminta mengambil peran sebagai Kelsea dalam film adaptasi yang (diharapkan) akan segera muncul, terpikat dan ‘jatuh’hati’ hingga memutuskan ikut serta dalam produksi sebagai salah satu produser. Sejak bertemu dengan karakter ‘Katnis Everdeen’ melalui kisah trilogi The Hunger Games karya Suzanne Collins, baru kali ini diriku menemukan sosok dengan kualitas kurang lebih serupa.

Perjuangan dan perjalanan panjang Kelsea yang baru berusia 17 tahun bisa dikatakan ‘mustahil’ karena ia bukan sekedar mengambil-alih kekuasaan sebagai pewaris sah kerajaan Tearling. Ia harus berhadapan dengan pamannya, Thomas Regent yang mengambil alih kekuasaan semenjak kematian kakaknya, dan memperburuk situasi sebagai penguasa yang hanya memikirkan dirinya sendiri. Thomas yang pengecut, bahkan menyewa jasa Caden – kelompok pembunuh bayaran no.1 untuk melenyapkan kemenakannya. Dan musuh Kelsea yang paling tangguh tiada lain sosok Ratu Merah yang misterius, yang memiliki kekuasaan luas hingga jaringan mata-mata dan pengikutnya, tersebar tanpa mampu dicegah. Kelsea harus senantiasa waspada karena ia tak mengetahui siapa gerangan kawan sebenarnya atau siapa yang mendadak berubah menjadi musuh yang menikamnya dari belakang. Dan siapa gerangan sosok Fetch – Raja Pencuri yang menjadi legenda tersendiri bagaikan mitos Robin Hood ? Mengapa pula informasi tentang ‘ayah kandung’ Kelsea menjadi rahasia yang diburu oleh pihak-pihak tertentu ?

[ source ]
Sebagai karya perdana Erika Johansen, harus diacungi jempol karena kisah ini penuh dengan intrik, konflik, dan detil yang kompleks, berbalur nuansa misteri, fantasi dan dunia supranatural yang dijamin membuat penggemar fantasi terbuai dalam petualangan yang lumayan intense ini. Bahkan pengembangan karakter-karakter yang ‘bermain’ di dalamnya, entah itu karakter utama atau pendamping, sesuatu yang anehnya tidak bisa kupastikan, karena ini merupakan buku pertama dari sebuah serial, dan juga ke-aneka ragaman karakter yang bermunculan di sana-sini. Walau belum serumit karya George R.R. Martin yang terkenal ‘luar biasa’ dalam menciptakan karakter demi karakter serial ‘A Song of Ice & Fire’ (lebih dikenal melalui buku pertamanya ‘A Games of Thrones), paling tidak bagi pembaca yang tidak terbiasa membaca genre ‘high fantasy’ bisa jadi pusing menghafalkan sekian banyak nama dan detil karakter. Sekarang sembari berharap (cemas) pada kelanjutan kisahnya segera muncul, diriku memiliki ekspektasi yang sangat tinggi untuk mengetahui perjalanan sosok Kelsea.

Note : secara keseluruhan tidak ada keluhan dalam masalah terjemahan maupun editorial versi terjemahan kisah ini (bagi diriku, ‘a little-bit typo’ no-problemo karena kisahnya terlalu menarik untuk diabaikan begitu saja). Satu-satunya hal yang mengganggu adalah jenis kertas yang dipilih, mirip kertas koran yang super duper tipis, hingga mudah sekali ‘koyak’ akibat pergesekan. Mengingat ketebalan buku ini, bisa ditemukan kondisi kertas yang kusut pada beberapa bagian dan ‘nyaris koyak’ ... ditambah jenis font yang kecil dan tinta yang lumayan tipis (terkadang tampak bayangan dibaliknya), jujur hal ini membuatku berpikir dua kali untuk menjadikan edisi ini sebagai koleksi – karena rasanya tidak mampu bertahan lama. Mengapa Mizan Fantasi tidak memilih jenis kertas yang lebih tebal, font yang bersahabat untuk buku yang diramalkan menjadi bestseller ? Seperti edisi terbitan Noura Books (saudara Mizan juga) yang dijual dengan harga kurang lebih sama, namun memiliki kualitas dan kelayakan lebih baik. Sungguh disayangkan jika kisah dan karya sebagus ini hanya akan jadi ‘bungkus kertas koran’ kelak \(-__-)/

[ more about this author & related works, just check at here : Erika Johansen | The Queen of Tearling | on Goodreads | on Wikipedia | at Facebook ]

Best Regards,

@HobbyBuku

2 comments:

  1. Terima kasih ulasannya, Mbak Maria :)

    Soal pemilihan kertas memang selalu membuat redaksi pusing tujuh keliling ^^ Memakai kertas koran saja harganya sudah 99rb... bisa dibayangkan jika memakai bookpaper, pastinya harga akan di atas 100rb ^^ Dan kebijakan saat ini masih cenderung mengusahakan untuk menekan harga.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Pertimbangan dari sisi marketing vs keinginan kolektor hahaha.
      Tapi menurut pendapatku pribadi, ceritanya bagus mbak, jadi sayang saja jika mau dibuat koleksi.
      Btw, bkn jenis kertasnya yang mirip kertas buram, tapi 'tipisnya' kertas yang jadi bahan pertimbangan, klo mudah lecek atau sobek kan juga sulit perawatannya mbak

      Delete

Silahkan tinggalkan pesan dan komentar (no spam please), harap sabar jika tidak langsung muncul karena kolom ini menggunakan moderasi admin.
Thanks for visiting, your comment really appreciated \(^0^)/

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...